Riwayat hidup K.H. Bahaudin Mudhary (1920-1979)
Lahir di Sumenep 23 April 1920 dan berpulang ke Rahmatullah 4 Desember 1979 di
Surabaya. Meski ia belum pernah mereguk pendidikan alam pesantren, namun kadar
kebesarannya berangkat dari benih pengaruh kuat ayahandanya --KH. Ahmad Sufhansa
Mudhary-- yang ulama dan teman berbincang dari kakaknya alm. K.H. Abdul Hamid
Mudhary, yang sama sekali tidak pernah mengenyam sekolah formal ataupun
Pesantren, kecuali berkhidmat kepada ayahandanya saja. Alhasil, beliaupun mampu
mereguk ilmu keislaman disamping mahir bahasa Arab, Belanda dan Jepang.
Jabatan yang pernah diembannya antara lain, Komandan Sudanco, Ketua Muhammadiyah,
Ketua Masyumi, Wedana di Bangkalan serta ketua Perserikatan Muslim Tionghoa di
Madura (sekarang PITI).
Almarhum dalam kesehariannya sangat sederhana lagi bersahaja. Ia juga humoris
dengan petuah yang penuh warna "parigan" (sesemon Madura). Ada pesan menjelang
akhir hayatnya yang hingga kini menjadi pegangan putra dan cucu-cucunya; "Jangan
sesekali meninggalkan sholat, selalu rukun dan memelihara tali silaturahim serta
jangan berebut harta pusaka, usahakan setiap malam sholat lail (tahajjud)."
Seusai menamatkan Kweek School Muhammadiyah di Yogjakarta tahun 1940, tokoh
ulama jawa timur ini terus menimba ilmu sambil menekuni buku literatur berbahasa
Arab, Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Cina dan Jepang, teristimewa yang erat
kaitannya dengan filsafat dan kerohanian.
Ulama ahli metafisika yang memiliki "kasyf" tersebut juga amat terampil
memafhumi hampir seluruh alat musik mulai petik,gesek, tiup sampai tuts piano.
Muasal kelangkaan ilmunya, alhasil orang menyebut "Tera Ta Adamar" (bhs Madura)
bermakna benderang tanpa pelita, lantaran bertumpu pijak yang berkhidmat pada
ladang spiritual terutama ibadah sholat sebagai mi'rajnya kaum muslimin menuju
titik sumbu Rabbul Izzati. Itulah sebabnya hakikat ilmu letaknya bukan di kepala
tetapi di hati.
Semasa hayatnya diamalkan untuk pendidikan dan dakwah Islamiyah. Tahun 1947
memangku sebagai Komandan Resimen Hizbullah, dua tahun kemudian mendirikan
Yayasan Pesantren Sumenep. Selama perjuangan fisik bersama-sama rekan-rekannya
setahun lebih meringkuk di Penjara Kalisosok Surabaya. Berikutnya tahun 1954
Ketua Muhammadiyah cabang Sumenep, Kepala SMA Yayasan Pesantren, mengajar bahasa
Jerman dan Perancis di SMA Sumenep sekitar tahun 1960-1965 serta dosen di IKIP
Negeri dan pernah mendirikan Akademi Metafisika. Hingga akhir hayatnya, selain
mengasuh Pesantren Kepanjin Sumenep juga menjabat Kepala Kantor Departemen Agama
Sumenep, Ketua Umum GUPPI Jawa Timur, Ketua MUI Jawa Timur dan anggota DPRD
Tingkat I Jawa Timur. Banyak buah penanya, senantiasa mewarnai langgam kehidupan
rohaninya yang mapan.