Yahudi Bani Qoinuqa
Pada saat itu ummat tengah
menghadapi pengepungan kaum Quraish di luar Madinah. Nabi Muhammad
memandang suku Yahudi menjadi sebuah resiko keamanan. Jika bala tentara
Mekkah hendak berkemah di selatan Madinah, yang merupakan
wilayah dua suku paling berpengaruh, para tentara Yahudi dapat dengan mudah bergabung dengan Quraisy, yang mereka anggap sebagai sekutu. Jika Quraisy menyerang kota dari utara, yang merupakan pilihan terbaik mereka, suku Yahudi dapat menyerang Muslim dari belakang sehingga mereka benar-benar terkepung. Nabi Muhammad menyadari bahwa dia harus menghentikan pertikaian ini. Orang Yahudi yang telah beralih ke Islam memberinya informasi bahwa Bani Qoinuqa, suku terkecil di antara mereka, adalah yang paling keras terhadap ummat. Sebelum hijrah mereka merupakan sekutu Ibnu Ubbay dan setelah perang Badar mereka memutuskan perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad dan menghidupkan kembali persekutuan lama untuk membesarkan oposisi dan menyingkirkan Nabi. Wilayah mereka lebih dekat ke pusat kota Madinah. Tak seperti dua suku lainnya, mereka bukan
petani melainkan pandai besi dan tukang kayu. Segera setelah Badar dan pembelotan Ka'ab ke Mekkah, Nabi Muhammad mengunjungi mereka di wilayah mereka dan mendesak mereka agar menerimanya sebagai nabi demi tradisi agama mereka yang sama. Yahudi suku Qoinuqa mendengarkan dakam keheningan dan menjawab bahwa mereka tak bermaksud tinggal dalam ummat: Oh Nabi Muhammad, tampaknya engkau berpikir bahwa kami adalah orang-orangmu. Jangan menipu diri sendiri karena engkau telah berperang di Badar tanpa sedikit pun pengetahuan tentang perang dan memenangkannya; karena demi Tuhan jika kami memerangimu, akan kau lihat bahwa kami adalah laki-laki sejati! Setelah ancaman ini, Nabi Muhammad menarik diri dan menunggu perkembangan.
Beberapa hari kemudian terjadi sebuah insiden di pasar Qoinuqa. Salah seorang pandai besi Yahudi mengganggu seorang perempuan Muslim yang tengah berdagang di
sana. Dengan diam-diam dia mengaitkan ujung rok bawah perempuan itu di bagian belakang ke bagian atas pakainnya, sehingga ketia berdiri, sebagian tubuh bagian bawah perempuan itu akan terekspos. Perasaan
terpendam antara ummat Muslim dan Yahudi Qoinuqa agaknya sudah begitu
memuncak, sehingga ketika salah seorang Anshar melompat ke arah pandai
besi itu dengan teriakan kemarahan, langsung terjadi perkelahian
mengerikan antara kedua kelompok, menewaskan seorang Muslim dan seorang
Yahudi. Dengan demikian jumlah korban seimbang. Nabi Muhammad dipanggil,
dalam kapasitasnya sebagai hakim perselisihan, untuk mengembalikan
perdamaian. Namun kaum Yahudi menolak arbitrasinya, membuat barikade ke
benteng mereka, dan menyeru pada sekutu Arab untuk membantu mereka.
Qoinuqa memiliki sekitar 700 orang siap tempur. Jika sekutu Arab mereka
menjawab panggilan itu sambil membawa kekuatan mereka untuk berhadapan
dengan Nabi Muhammad, mereka akan sulit dikalahkan. Ibnu Ubbay sangat
bersemangat untuk menolong Qoinuqa dan berkonsultasi dengan sekutu
mereka yang lain, Ubadah bin Shamit. Namun Ubadah adalah adalah seorang
Muslim yang taat dan dia menunjukkan bahwa persekutuan lamanya dengan
ummat Yahudi telah dibatalkan begitu mereka menandatangani perjanjian
dengan Nabi Muhammad. Ubnu Ubbay menyadari bahwa dia tak sanggup
membantu karena sebagian orang Arab tetap berdiri kukuh di belakang
Nabi. Qoinuqa berharap memimpin pemberontakan melawan Nabi Muhammad dan
para sahabat Muhajirin, namun malahan, mereka terkepung oleh suku-suku
Arab yang ada di Madinah. Selama dua minggu mereka menunggu Ibnu Ubbay
melaksanakan janjinya, namun akhirnya mereka terpaksa menyerah tanpa syarat.
Seketika itu juga
Ibnu Ubbay mendatangi Nabi Muhammad dan memohon agar Nabi memperlakukan
mereka dengan baik. Ketika Nabi tidak menjawab, Ubbay menarik kerah
bajunya. Nabi Muhammad menjadi sangat marah. Ibnu Ubbay tetap pada
pendiriannya : bagaimana dia dapat meninggalkan sahabat sahabat
lamanya, yang telah sering membantunya di masa lalu? dia tahu bahwa Nabi
Muhammad berhak, sesuai konvensi Arab, untuk menghabisi seluruh suku,
namun Nabi Muhammad membiarkan orang-orang Qainuqa’ hidup dengan catatan
mereka harus meninggalkan oase. Ibnu Ubbay diminta untuk menemani mereka
keluar Madinah. Begitu mereka mengerti
bahwa Ibnu
Ubbay tak lagi memiliki kekuatan untuk menolong mereka, Qainuqa’ siap
meninggalkan tempat tinggalnya. Berikut ini ungkapan Karen Amstrong
tentang hubungan Nabi dengan kaum Yahudi di Madinah:
Sangat sulit bagi orang Barat menanggapi hubungan Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi di Madinah, karena hal ini mengangkat terlalu banyak hal memalukan dari masa lalu kita sendiri. Namun perjuangan Nabi Muhammad menghadapi tiga suku utama Yahudi di oase amat berbeda dengan kebencian rasial dan agama yang menyerang ummat Kristen Eropa selama hampir seribu tahun. Terror irasional yang dirasakan ummat Kristen menemukan ekspresi finalnya dalam perang salib secular Hitler terhadap Yahudi. Nabi Muhammad tak memiliki fantasi dan hal menakutkan itu. Dia tak memiliki kehendak untuk menjadikan Madinah sebagai
Judenrein.
Perselisihannya dengan Qainuqa murni politis dan tak pernah diteruskan pada klan-klan kecil Yahudi di Madinah yang tetap
setia pada Perjanjian dan hidup bersama kaum Muslim dalam damai